Menjawab Kerancuan Seputar Praktek Jual Beli Kredit di Lapangan
Ditulis oleh:
Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawiy – Waffaqohulloh-
Darul Hadits Dammaj, Ahad, 25 Muharram 1434H
-Semoga Alloh Menjaganya-
ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
ﺇﻥ ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻧﺤﻤﺪﻩ ﻭﻧﺴﺘﻌﻴﻨﻪ ﻭﻧﺴﺘﻐﻔﺮﻩ ﻭﻧﻌﻮﺫ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺷﺮﻭﺭ ﺃﻧﻔﺴﻨﺎ ﻭﻣﻦ ﺳﻴﺌﺎﺕ ﺃﻋﻤﺎﻟﻨﺎ
ﻣﻦ ﻳﻬﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻼ ﻣﻀﻞ ﻟﻪ , ﻭﻣﻦ ﻳﻀﻠﻞ ﻓﻼ ﻫﺎﺩﻱ ﻟﻪ، ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺣﺪﻩ ﻻ ﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪ،
ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﻋﺒﺪﻩ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ . ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ :
Pada pembahasan tentang permasalaahan jual beli kredit yang telah lalu dalam artikel kami yang berjudul: “Jual Beli Secara Kredit, Bolehkah?” , telah kita ketahui bahwa jual beli dengan cara ini pada asalnya adalah boleh, berdasarkan keumuman firman Alloh:
ﻭَﺃَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﺒَﻴْﻊَ ﻭَﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ
“Dan Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqoroh :275)
Telah kita ketahui pula bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama; imam madzab yang empat, dan dipilih oleh: Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Al-Fauzan, demikian pula Syaikh kami Yahya Al-hajury dan Syaikh kami Muhammad Hizam.
Namun, di sana ada pertanyaan penting yang perlu untuk dijawab dengan tuntas, yaitu:
“Apakah yang dimaksud dengan jual beli kredit yang telah lalu penjelasan tentang kebolehannya itu adalah jual beli kredit yang kita dapati saat ini di lapangan?”
Insya Alloh dalam pembahasan kali ini, akan kita kupas permasalahan yang menimbulkan banyak tanda tanya ini. Walaupun pembahasan ini lumayan pelik dan rumit, tapi kami akan berusaha sebisa mungkin untuk menyajikannya dalam kajian yang mudah dipahami. Bagi para pembaca yang benar-benar berniat untuk memahami pokok pembahasan ini, hendaknya membaca dengan cermat dan seksama sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahaminya. Nasalulloh at-taufiq was sadad.
Ikhwany – waffaqokumulloh-, untuk mengetahui jawaban pertanyaan di atas, kita harus memahami terlebih dulu dua perkara utama:
Pertama: bentuk jual beli kredit yang dibolehkan oleh mayoritas ulama.
Kedua: praktek jual beli kredit yang ada saat ini dan sejauh mana kesesuaiannya dengan bentuk yang diperbolehkan.
Adapun permasalahan pertama, sebenarnya telah lalu penjelasannya dalam artikel kami “Jual Beli Secara Kredit, Bolehkah?” (silakan untuk dibaca kembali), sehingga tidak butuh untuk diulang secara panjang lebar di sini. Namun perlu kami tegaskan di sini beberapa point utama yang mungkin sebagian pembaca salah paham dalam mencernanya.
Pertama : Jual beli kredit yang dibahas pada tulisan kami yang lalu itu dan diperbolehkan oleh mayoritas ulama adalah jual beli yang dilakukan oleh dua belah pihak; pihak penjual dan pembeli. Jadi, antara penjual dan pembeli terjadi transaksi secara langsung tanpa campur tangan pihak ketiga.
Kedua : Barang yang diperdagangkan adalah benar-benar milik penjual secara syar’i dan barang tersebut ada ketika terjadi proses jual beli. Adapun jika barang tersebut bukan milik penjual atau belum ada waktu terjadi transaksi, maka pembahasannya lain lagi.
Ketiga : Penjual memberikan pilihan kepada pembeli, apakah mau bayar kontan atau kredit? Dan transaksi selesai dengan tetapnya pilihan pembeli salah satu diantara dua jenis transaksi yang ditawarkan.
Keempat: Tidak ada persyaratan dan perjanjian khusus antara penjual dan pembeli seputar transaksi kredit yang telah dilakukan berkenaan dengan keterlambatan cicilan dan sebagainya, kecuali ketentuan-ketentuan umum yang telah ditetapkan oleh syareat dalam bermuamalah. Adapun jika penjual menetapkan syarat-syarat tertentu, maka pembahasannya lain lagi.
Inilah hal-hal yang hendaknya dicermati, jangan sampai terjadi salah paham dan menyangka bahwa semua jual beli kredit yang ada saat ini hukumnya boleh.
Praktek Jual Beli Kredit Saat ini
Setelah kami mencermati praktek jual beli kredit di lapangan berdasarkan sumber-sumber yang berhasil kami dapatkan, dapat kami simpulkan bahwa praktek yang ada berkisar pada hal-hal sebagai berikut:
Adanya pihak ketiga sebagai perantara antara pihak penjual dan pembeli
Pengenaan denda jika terjadi keterlambatan angsuran dari batas waktu yang telah ditentukan.
C. Penarikan barang dari pihak pembeli, jika dinyatakan tidak mampu untuk melunasi pembayaran.
Perincian dari point-point di atas adalah sebagai berikut:
A. Adanya pihak ketiga sebagai perantara antara pihak penjual dan pembeli
Pada jual beli kredit saat ini, selain pihak konsumen (pembeli) dan penjual ada pihak yang sangat menentukan dalam proses kredit yaitu pihak perusahaan pembiayaan/ perusahaan finance/ leasing. Tanpa adanya perusahaan pembiayaan sebagai pihak ketiga, sulit untuk konsumen dapat memperoleh kredit langsung dari pihak dealer (penjual), karena biasanya dealer tidak mempunyai dana yang cukup untuk memberikan dana kredit, walaupun ada beberapa dealer mempunyai atau memberikan jasa kredit kepada konsumen secara langsung tanpa adanya campur tangan pihak ketiga.
Pada saat ini perusahaan pembiayaan sangat banyak. Sampai-sampai terjadi kondisi surplus/
over supply, dimana perusahaan pembiayaan mengalami kelebihan dana untuk dibelanjakan, maka yang terjadi perusahaan pembiayaan berlomba-lomba untuk mendapatkan konsumen dengan berbagai cara, salah satunya dengan program uang muka yang sangat murah, angsuran yang bersaing, dengan harapan dapat menambah volume penjualan. Bahkan demi menarik konsumen kata-kata “Syariah” pun terkadang dijadikan hiasan utama. Sehingga mereka membagi perusahaan pembiayaan menjadi dua macam: leasing konvensional yang biasa dikenal dan leasing syariah yang mengklaim bahwa prosedur mereka telah sesuai dengan syariat Islam berdasarkan fatwa DSN MUI.
Jadi, seseorang yang ingin beli barang semisal; motor, mobil atau rumah, datang ke perusahaan pembiayaan ini untuk mengajukan kredit barang yang diinginkan tersebut. Kebanyakan perusahaan pembiayaan ini tidaklah memiliki barang yang diinginkan, karena sebagaimana namanya, perusahaan ini fungsinya membantu orang yang ingin membeli sesuatu dengan cara kredit dengan dana yang dimiliki perusahaan tersebut. Namun biasanya perusahaan telah memiliki jaringan dan kerjasama dengan pihak penjual/ dealer (pemilik barang). Setelah permohonan kredit tersebut disetujui maka pihak perusahaan pembiayaan pun berusaha mendatangkan barang tersebut.
Bagaimanakah hukum jual beli yang seperti ini?
Untuk mengetahui hukum permasalahan ini, kita harus mengetahui terlebih dulu sebenarnya apa peran pihak ketiga -yang dalam perkara ini disebut dengan perusahaan pembiayaan / leasing- dalam proses jual beli kredit? Jawabannya tidaklah akan keluar dari kemungkinan-kemungkinan berikut:
Kemungkinan Pertama: Perusahaan pembiayaan berperan sebagai pemberi utang kepada pihak pembeli, yaitu dengan membayarkan harga kepada pihak penjual secara kontan, kemudian pembeli mencicil kepada perusahaan pembiayaan disertai dengan tambahan harga.
Kemungkinan inilah yang pertama kali terbetik ketika mendengar istilah “perusahaan pembiayaan” dan di banyak artikel yang menjelaskan tentang proses kredit di lapangan kami dapati memang inilah fungsi utama adanya pihak ketiga. Bahkan dengan terang-terangan mereka menyatakan dalam syarat pengajuan kredit: “Mengisi formulir permohonan pembiayaan dan dokumen lainnya.”
Kemungkinan ini banyak dijumpai pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diberikan oleh bank-bank yang ada.
Fenomena ini juga sangat jelas pada kredit pembelian mobil bekas, karena dalam proses ini pembeli telah mencari mobil yang diinginkan terlebih dulu yang dijual secara kontan kemudian datang ke perusahaan pembiayaan untuk meminta mereka membayarkan mobil tersebut. Setelah itu si pembeli mencicil kepada pihak perusahaan pembiayaan. Dan hampir leasing-leasing konvensional yang ada tidak keluar dari kemungkinan ini.
Proses yang seperti ini tidak ragu lagi tentang keharamannya . Inilah riba orang-orang jahiliyyah yang Alloh telah melarangnya dalam firmanNya:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻛُﻠُﻮﺍ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﺃَﺿْﻌَﺎﻓًﺎ ﻣُﻀَﺎﻋَﻔَﺔً ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda! dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” [QS. Ali Imron: 130]
Para ulama pun telah sepakat bahwa bentuk yang seperti ini adalah riba.
Kemungkinan kedua: Perusahaan pembiayaan membeli barang atas nama mereka sendiri dari pihak penjual, sehingga dengannya barang tersebut telah sah menjadi milik perusahaan pembiayaan. Kemudian mereka menjual barang itu kepada calon pembeli dengan mengambil laba. Namun pihak perusahaan pembiayaan tidaklah membeli barang tersebut kecuali setelah adanya permintaan dari calon pembeli.
Bentuk jual beli seperti ini dalam istilah fiqih disebut jual beli Murobahah . Para ulama, baik yang terdahulu maupun yang sekarang menyatakan bahwa proses seperti ini adalah boleh, tapi dengan syarat bahwa pihak yang diminta untuk membelikan (yaitu perusahaan pembiayaan) tidak boleh mengharuskan calon pembeli untuk membeli barang yang dimintanya. Dalam artian, si calon pembeli masih memiliki hak untuk membatalkan kesepakatan ketika barang yang diminta sampai ke tangan perusahaan pembiayaan.
Imam Asy-Syafi’I Rohimahulloh berkata:
ﻭﺇﺫﺍ ﺃﺭﻯ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﺴﻠﻌﺔ ﻓﻘﺎﻝ : ﺍﺷﺘﺮ ﻫﺬﻩ ﻭﺃﺭﺑﺤﻚ ﻓﻴﻬﺎ ﻛﺬﺍ، ﻓﺎﺷﺘﺮﺍﻫﺎ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻓﺎﻟﺸﺮﺍﺀ ﺟﺎﺋﺰ، ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻗﺎﻝ : ﺃﺭﺑﺤﻚ ﻓﻴﻬﺎ ﺑﺎﻟﺨﻴﺎﺭ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺃﺣﺪﺙ ﻓﻴﻬﺎ ﺑﻴﻌﺎ، ﻭﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺗﺮﻛﻪ . ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺇﻥ ﻗﺎﻝ : ﺍﺷﺘﺮ ﻟﻲ ﻣﺘﺎﻋﺎ، ﻭﻭﺻﻔﻪ ﻟﻪ ﺃﻭ ﻣﺘﺎﻋﺎ ﺃﻱ ﻣﺘﺎﻉ ﺷﺌﺖ ﻭﺃﻧﺎ ﺃﺭﺑﺤﻚ ﻓﻴﻪ ﻓﻜﻞ ﻫﺬﺍ ﺳﻮﺍﺀ .
“jika seseorang memperlihatkan kepada orang lain suatu barang, kemudian berkata kepadanya: belikanlah barang ini, dan aku akan memberikan keuntungan padamu! Maka orang (yang disuruh) itupun membelinya. Pembelian seperti ini boleh. Orang yang mengatakan: “Aku akan memberikan keuntungan padamu”, mempunyai pilihan: jika mau dia membeli barang (sebagaimana janjinya), jika mau dia meninggalkannya (tidak jadi membelinya).
Demikian pula jika dia mengatakan: belikan barang untukku! Kemudian dia menyebutkan sifat barang (yang diinginkannya), atau mengatakan: “(Terserah barang apa saja yang kau beli, aku akan memberikan keuntungan padamu.” Semua ini hukumnya sama.” [Al-Umm: 3/ 39]
Diantara ulama masa kini yang juga menyatakan bolehnya proses di atas dengan syarat tidak mewajibkan pihak peminta barang untuk memenuhi janjinya adalah: Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Abdurrozzaq Afifi, dan Syaikh Muhammad Qu’ud. [Majallatul Buhuts Al-Islamiyyah: 7/ 133]
Kenapa pembeli yang meminta untuk dibelikan barang tidak diharuskan untuk membeli barang yang dimintanya, padahal jika si pembeli tersebut tidak jadi membeli barang itu maka pihak perusahaan pembiayaan akan merasa dirugikan?! Inilah pertanyaan yang pasti akan muncul dan karena ini pula maka pihak perusahaan pembiayaan yang ada saat ini mewajibkan orang yang meminta dibelikan untuk membeli barang yang dimintanya itu.
Jawabnya:
Jika kesepakatan awal (yaitu permintaan pembeli kepada pihak perusahaan pembiayaan untuk dibelikan suatu barang) merupakan kesepakatan yang mengikat dan harus ditepati, berarti pada saat itu mereka telah menjadikannya sebagai sebuah transaksi jual beli.
Padahal barang yang diperjual belikan antara konsumen dengan pihak perusahaan pembiayaan belum dimiliki oleh perusahaan pembiayaan. Maka hal ini adalah bentuk transaksi jual beli yang diharamkan. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ﻻ ﺗﺒﻊ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻙ
“Jangan kamu menjual sesuatu barang yang bukan milikmu.” [HR. Abu Dawud (3503) dan yang lainnya, dengan sanad yang shohih, telah menshohihkannya Syaikh Al-Albani di kitab ‘Irwaul Gholil: 5/ 132]
Proses tersebut juga menyelisihi sabda Nabi –Shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
ﺇﺫﺍ ﺍﺷﺘﺮﻳﺖ ﻣﺒﻴﻌﺎ ﻓﻼ ﺗﺒﻌﻪ ﺣﺘﻰ ﺗﻘﺒﻀﻪ
“Jika kamu membeli suatu barang janganlah kamu jual sampai kamu menggenggamnya (maksudnya bahwa barang tersebut benar-benar telah menjadi miliknya dan telah berpindah dari tempat penjual ke tempatnya).” [HR. An Nasai: 4603, dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di ‘Shohih jami’: 342]
Dengan ini jelaslah, bahwa aturan yang ditetapkan oleh perusahaan pembiayaan berupa pengharusan pihak yang meminta barang untuk membeli, adalah penyelisihan terhadap syareat.
Terlebih lagi jika perusahaan pembiayaan mewajibkan pihak yang meminta barang untuk membayar uang muka (DP) seketika itu pula.
Dengan ini pula kita ketahui bahwa beberapa ketetapan yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang MURABAHAH[1] tidaklah benar. Mereka menetapkan dalam Ketentuan Murabahah kepada Nasabah point ke-3:
“Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya , karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.”
Memang secara umum orang yang berjanji itu wajib memenuhi janjinya, dan dalam perkara kita ini pihak yang meminta dibelikan pun sudah seharusnya menepati janjinya berdasarkan kesadaran pribadi. Adapun jika dibuat sebagai ketetapan dalam transaksi, maka masuklah perkara ini dalam akad jual beli yang mempunyai syarat dan hukum tersendiri. Oleh karena itulah para ulama baik yang terdahulu maupun sekarang membedakan antara janji dan akad jual beli.
Kemudian pada point ke-4 dikatakan: “Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. ”
Hal ini jelas masuk dalam larangan hadits untuk menjual barang yang bukan miliknya. Sebab, saat kesepakatan awal, bank tidaklah memiliki barang yang dipesan tersebut. Dan menuntut pembayaran uang muka tidaklah diperbolehkan kecuali setelah akad jual beli.
Para ulama telah menjelaskan bagaimana jalan keluar yang syar’i agar pihak yang membelikan tidak mengalami kerugian ketika si pemesan tidak jadi membeli, yaitu: Orang (yang membelikan) itu membeli barang dari pihak penjual dengan meminta khiyar (tenggang waktu untuk bolehnya dia membatalkan jual beli) selama tiga hari misalnya. Jika dalam tiga hari tersebut dia tidak memulangkan barang yang dibeli berarti transaksinya berjalan. Adapun jika dia mengembalikannya dalam tenggang waktu tersebut maka transaksinya batal.
Setelah mendapatkan barang dari penjual, barulah dia segera menghubungi si pemesan. Jika pemesan tersebut jadi membeli maka itu yang diharapkan. Namun jika tidak jadi membeli, maka barang bisa dikembalikan ke pihak penjual karena masih dalam masa khiyar. Dengan cara ini penjual selamat dari kerugian di dunia dan akherat –insya Alloh- [lihat: I’lamul Muwaqi’in: 4/ 23, Az-Ziyadah wa Atsaruha: 1/ 394]
B. Pengenaan denda jika terjadi keterlambatan angsuran dari batas waktu yang telah ditentukan.
Perkara ini hampir tidak bisa terpisah dari praktek jual beli yang ada saat ini. Sebab dengan cara ini pihak perusahaan pembiayaan berusaha agar konsumen tertib dan bersungguh-sungguh dalam menunaikan cicilannya. Denda ini dikenal pada leasing konvensional dengan bunga telat bayar yang dihitung perhari (misal: 0,3% – 0,5% perhari dari besar angsuran). Adapun leasing syariah, mereka menamakan denda itu dengan infaq untuk fakir miskin, misalnya Rp. 2500,- perhari. [2]
Apakah denda ini dibolehkan syareat? Lalu apa perbedaan antara denda yang dituntut leasing konvensional dengan infaq yang diwajibkan oleh leasing syariah?
Ikhwany –waffaqokumulloh- sebelum kami jawab pertanyaan di atas, hendaknya kita ketahui bahwa syariat agama kita yang mulia ini telah mengatur segala perkara yang menyangkut kemaslahatan umatnya. Demikian pula dalam permasalahan kita ini, tidaklah boleh seseorang menyamakan suatu hukum yang Alloh beserta RosulNya telah membedakannya.
Seorang yang terlambat mencicil mempunyai dua kemungkinan yang hukum masing-masing dari keduanya tidak boleh disamakan:
Pertama : Orang tersebut mempunyai udzur yang berupa kesulitan keuangan sehingga tidak bisa untuk menunaikan kewajibannya dalam membayar cicilan.
Tentang orang yang keadaannya seperti ini Alloh telah berfirman:
ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺫُﻭ ﻋُﺴْﺮَﺓٍ ﻓَﻨَﻈِﺮَﺓٌ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻴْﺴَﺮَﺓٍ ﻭَﺃَﻥْ ﺗَﺼَﺪَّﻗُﻮﺍ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻜُﻢْ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS Al-Baqoroh: 280)
Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam-
juga telah bersabda:
ﻣﻦ ﺃﻧﻈﺮ ﻣﻌﺴﺮﺍ ﺃﻭ ﻭﺿﻊ ﻋﻨﻪ، ﺃﻇﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻇﻠﻪ
“Barangsiapa memberikan waktu tangguh kepada seorang yang kesulitan atau menghapus (sebagian atau semua utang orang tersebut) maka Alloh akan menaunginya dalam naungan (‘Arsy-Nya pada hari kiamat).” (HR. Muslim: 3006)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan bagaimana menyikapi seseorang yang ditimpa kesulitan. Tidak ada pilihan kecuali menunggu sampai datang waktu lapang atau menyedekahkan sebagian utang atau seluruhnya. Jika demikian keadaannya, maka tidaklah dibolehkan seseorang menuntut denda kepadanya, baik itu dinamakan bunga atau shodaqoh.
Harta setiap muslim tidaklah boleh diambil dari pemiliknya kecuali dengan alasan yang syar’i.
Demikian pula tidak dibenarkan seseorang atau suatu pihak mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Alloh dan RosulNya kepada pihak yang lain.
Demikian pula tidak dibenarkan seseorang atau suatu pihak mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Alloh dan RosulNya kepada pihak yang lain.
Kedua: Orang tersebut tidak punya udzur, karena sebenarnya dia mampu untuk membayar cicilan pada waktunya. Akan tetapi mengulur-ulurnya dengan sengaja.
Semuanya sepakat bahwa perbuatan orang ini adalah haram dan merupakan kedzoliman. Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- telah mengatakan:
ﻣﻄﻞ ﺍﻟﻐﻨﻲ ﻇﻠﻢ
“Pengulur-uluran dalam membayar utang oleh seorang yang mampu untuk membayarnya adalah kedholiman.” [HR. Bukhory: 2400 , Muslim: 1564 )
Bahkan mayoritas ulama menyatakan bahwa orang yang melakukannya pantas untuk dihukumi fasik. [lihat: Fathulbary syarh hadits di atas]
Akan tetapi, apakah dibolehkan bagi pihak yang didzolimi untuk menuntut denda? Ini perkaranya lain.
Sebelumnya, hendaknya kita mengetahui bahwa tidaklah semua kedzoliman yang dilakukan suatu pihak kepada pihak yang lain bisa diganti dengan denda yang bersifat keuangan. Agar semakin jelas maka simaklah perincian permasalahan berikut ini:
Pertama: Jika kedua belah pihak (konsumen dan pihak yang memberikan utang/ kredit) sepakat bahwa apabila terjadi keterlambatan dalam menunaikan angsuran dari jangka waktu yang telah ditentukan maka wajib bagi konsumen untuk membayar denda berupa uang dalam jumlah tertentu atau dalam persenan tertentu, maka bentuk yang seperti ini adalah riba.
Riba akan semakin nampak jika pihak leasing menetapkan harga tambahan sebagai akibat dari keterlambatan. Misalnya: jika bayar tepat waktu maka angsurannya Rp. 300.000,- tapi jika terlambat tiga hari dari batas akhir maka menjadi Rp. 310.000,-
Inilah riba jahiliyyah yang para ulama telah ber-ijma’ (bersepakat) tentang keharamannya. Sebab pada bentuk ini ditetapkan uang tambahan pada utang yang telah tetap jumlahnya sebagai ganti atas keterlambatan menunaikan angsuran. [lihat: “Bai’ Taqsith”: 321]
Sama saja apakah denda itu dinamakan bunga telat bayar sebagaimana yang dikenal pada leasing konvensional atau dinamakan shodaqoh/ infaq untuk faqir miskin sebagaimana yang diklaim oleh leasing syariah.
Sama saja apakah denda itu diambil oleh pihak pemberi utang atau diberikan kepada orang lain. Sebab yang menjadi landasan penetapan hukum adalah hakekat permasalahan bukan kata-kata dan penamaan. Selama disana ada tambahan atas uang yang wajib diangsur sebagai akibat dari keterlambatan pembayaran angsuran, berarti disana telah terjadi transaksi riba.
Dan yang memprihatinkan, hampir semua leasing yang ada baik konvensional maupun syariah menetapkan kesepakatan terlarang ini dalam akad jual beli mereka. Wallohu Musta’an .
Padahal DSN MUI yang merupakan rujukan leasing syariah telah menetapkan dalam kelanjutan fatwa mereka yang telah kami kutip di depan: “Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.”
Kemudian, apabila ada leasing yang tidak menetapkan denda dan mengikuti fatwa di atas, apakah diperbolehkan bagi hakim untuk mendenda pihak berhutang?
Hal ini kembali kepada kebijaksanaan hakim, tapi yang ingin ditekankan di sini bahwa hukuman untuk pihak berutang yang mengulur-ulur hutangnya sehingga pihak yang menghutangi merasa dirugikan karenanya, tidaklah terbatas pada denda yang bersifat keuangan. Tidak pula hukuman tersebut harus kembali faidahnya kepada pihak yang terdzolimi. Sebab yang diinginkan dengan hukuman adalah agar orang yang berbuat dzolim itu jera dan meninggalkan kedzolimannya.
Namun kami ingatkan sekali lagi, bahwa hal ini adalah wewenang hakim, tidak boleh masing-masing pihak menetapkan kadar tertentu sebagai hukuman dalam akad jual beli yang dilakukannya, walaupun semuanya sepakat dan saling ridho.
Selanjutnya, jika seseorang mengatakan bahwa pihak leasing akan dirugikan akibat keterlambatan orang yang berhutang dalam menunaikan angsuran, karena itu dia harus memberikan ganti rugi atasnya, maka kami katakan:
Ganti rugi dalam syariah Islam ditetapkan setelah diketahui dengan pasti perkara yang yang hilang, kemudian baru ditetapkan berapa jumlah yang harus diganti. Adapun jumlah kerugian yang diakibatkan dari keterlambatan pihak berhutang menunaikan angsurannya adalah sesuatu yang tidak riil. Siapakah yang menjamin bahwa ketika angsuran dibayar tepat waktu, pihak leasing akan memperoleh keuntungan dari uang tersebut. Dan sebaliknya, jika terlambat dari waktu yang ditentukan, pihak leasing akan mengalami kerugian?! Buktinya leasing syari’ah –menurut istilah mereka- tidak menuntut ganti rugi untuk mereka atas keterlambatan. Mereka hanya menuntut infaq –menurut mereka- dalam jumlah tertentu untuk fakir miskin.
Oleh karena itulah jumhur ulama menyatakan bahwa tuntutan ganti rugi ini tidaklah diperbolehkan dalam syariat. [lihat: Roudhotuth Tholibin: 4/ 137, Fathul Bary: 4/ 544, Al-Mughny: 6/ 588, Majmu’ Fatawa: 30/ 22-24]
Majma’ Al-fiqhi Al Islamy telah menetapkan: “Diharamkan atas orang yang berhutang dan memiliki keluasan, menunda-nunda/ mengulur-ulur pembayaran angsuran yang telah jatuh tempo. Walaupun demikian, tidaklah diperbolehkan secara syar’i penetapan syarat ganti rugi jika terjadi keterlambatan dalam pembayaran.” [Majallatul Majma’: 6/ 1/ 448]
Dalil permasalahan ini adalah hadits:
ﻟﻲ ﺍﻟﻮﺍﺟﺪ ﻳﺤﻞ ﻋﺮﺿﻪ، ﻭﻋﻘﻮﺑﺘﻪ
“Pengulur-uluran seorang yang mampu untuk membayar utangnya menjadikan halal kehormatannya (untuk diterjang) dan halal (untuk dijatuhkan) hukuman kepadanya.” [HR. Abu Dawud: 3628 dan yang lain , dihasankan oleh Syaikh Al-Albany di “Al-Irwa’: 1434]
Seseorang yang menghutangi -berdasarkan hadits ini- boleh melaporkan kejelekan si penghutang yang menunda-nunda kepada hakim, dan si hakim berhak untuk menjatuhkan hukuman dengan memasukannya ke penjara.
Dalam hadits sama sekali tidak diterangkan bahwa harta orang yang menunda-nunda tersebut boleh diambil, dan tidak kami dapati seorang pun ulama yang menjelaskan makna hadits bahwa hukuman itu dapat berupa denda keuangan. [Lihat: Ma’alimussunan dan ‘Aunul Ma’bud dalam syarh hadits: 3628]
Dengan ini jelaslah bahwa tuntutan yang diminta pihak perusahaan pembiayaan/ leasing yang berupa uang dalam jumlah tertentu atas keterlambatan pembeli adalah haram. Keharaman semakin kuat jika si pembeli sedang dalam keadaan kesulitan keuangan dan memiliki udzur syar’i atas keterlambatannya. Wallahu a’lam.
* * *
C. Penarikan barang dari pihak pembeli, jika dinyatakan tidak mampu untuk melunasi pembayaran.
Konsekuensi utama dari jual beli adalah berpindahnya kepemilikan suatu barang dari penjual kepada pembeli, dan kepemilikan harga barang tersebut dari pembeli kepada penjual. Oleh karena itu, ketika pihak pembeli ini mengalami pailit (bangkrut) dan dinyatakan tidak bisa lagi melunasi angsurannya, bukan berarti bahwa barang yang belum lunas dibayar itu kembali kepada penjual. Barang telah menjadi milik pembeli secara sah. Si penjual tidak punya hak lagi untuk memintanya. Hak penjual adalah menuntut si pembeli untuk melunasi hutangnya, sebagaimana halnya hak orang-orang yang menghutangi secara umum.
Dengan ini kita ketahui bahwa perbuatan yang dilakukan sebagian leasing atau bahkan kebanyakannya yang berupa penyitaan barang yang tidak bisa terlunasi itu dari pembeli adalah perbuatan haram. Terlebih lagi jika mereka mengambil secara paksa, juga mengambil uang yang telah diangsur oleh pembeli. Alloh telah berfirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻛُﻠُﻮﺍ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,” [QS. An Nisa’: 29]
Syariat ini telah mengatur bahwa apabila orang yang pailit ini menanggung utang lebih dari satu pihak, maka harta yang tersisa dihitung (termasuk barang yang dibelinya secara kredit itu) kemudian dibagi sesuai dengan bagian masing-masing. Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam- telah bersabda:
ﺃﻳﻤﺎ ﺭﺟﻞ ﺃﻓﻠﺲ ﻓﻮﺟﺪ ﺭﺟﻞ ﻋﻨﺪﻩ ﻣﺎﻟﻪ , ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺍﻗﺘﻀﻰ ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻪ ﺷﻴﺌﺎ , ﻓﻬﻮ ﻟﻪ .
“Siapa saja yang ditimpa pailit dan seorang (yang mengutanginya) mendapatkan harta miliknya ada pada orang yang pailit tersebut, dan orang yang pailit ini belum membayar sama sekali, maka harta tersebut (kembali) menjadi miliknya (pihak yang mengutangi).” [HR. Ahmad]
Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud:
ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﺾ ﻣﻦ ﺛﻤﻨﻬﺎ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﻬﻮ ﺃﺳﻮﺓ ﺍﻟﻐﺮﻣﺎﺀ
“Jika (pihak yang mengutangi) telah menerima sebagian dari harga (barang) maka dia hukumnya sebagaimana para pemberi utang yang lain.” [Dishohihkan oleh syaikh Al-Albany di “Al-Irwa’: 1444]
Sebagai contoh: seorang mengalami kebangkrutan dan tidak tersisa dari hartanya kecuali motor yang belum lunas cicilannya, misalnya seharga 15 juta dan baru terbayar 10 juta. Disamping itu dia juga mempunyai hutang dengan pihak lain (B) senilai 15 juta. Setelah dinyatakan bahwa orang tersebut sudah tidak bisa lagi melunasi hutang-hutangnya, maka pihak penjual motor (A) tidaklah berhak mengambil motornya, karena pembeli telah membayar sebagian harga –sebagaimana disebutkan dalam hadits-. Akan tetapi motor tersebut dijual dan hasilnya dipakai untuk melunasi hutang-hutang yang ada. Jika hasil penjualan tidak bisa menutupi seluruh hutang, maka masing-masing pemberi hutang diberi sesuai prosentase masing-masing dari uang yang ada. Pada kasus di atas misalnya motor laku dengan harga 10 juta, maka si A dikasih 2,5 juta dan si B dikasih 7,5 juta. Adapun hutang yang masih tersisa tidak ada pilihan lain kecuali menunggu sampai orang yang pailit ini diberi keluasan atau menyedekahkan sisa utang kepadanya.
Namun, jika dia tidak menanggung utang kecuali pada pihak leasing saja, maka jalan keluar yang dilakukan leasing syariah -menurut istilah mereka- mungkin untuk ditempuh. Yaitu dengan menjual barang tersebut, kemudian uang hasil penjualan diberikan kepada pembeli yang bersangkutan setelah dipotong sisa hutangnya.
Inilah hukum syar’i yang telah Alloh dan RosulNya tentukan. Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk tunduk dan berlapang hati dalam melaksanakannya.
Kesimpulan & Nasehat
Setelah kita lewati pembahasan demi pembahasan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa jarang sekali praktek jual beli kredit yang dilakukan dengan perantara pihak ketiga (perusahaan pembiayaan / leasing) yang memenuhi prosedur syar’i. Bahkan, transaksi yang terjadi adalah transaksi riba yang Alloh dan Rosul-Nya telah melarangnya dengan keras. Alloh telah berfirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺫَﺭُﻭﺍ ﻣَﺎ ﺑَﻘِﻲَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ Ѳ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻔْﻌَﻠُﻮﺍ ﻓَﺄْﺫَﻧُﻮﺍ ﺑِﺤَﺮْﺏٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻭَﺇِﻥْ ﺗُﺒْﺘُﻢْ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﺭُﺀُﻭﺱُ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟِﻜُﻢْ ﻟَﺎ ﺗَﻈْﻠِﻤُﻮﻥَ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻈْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba tersebut), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; sehingga kamu tidak berbuat dzolim dan tidak (pula) didzolimi.” [QS. Al-Baqoroh: 278-279]
Apalah guna harta benda yang melimpah jika Alloh Dzat pemilik semesta alam beserta Rosul-Nya memeranginya?! Oleh karena itulah Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam-
memperingatkan umatnya untuk menjauhi dosa yang mencelakakan ini. Beliau bersabda:
ﺍﺟﺘﻨﺒﻮﺍ ﺍﻟﺴﺒﻊ ﺍﻟﻤﻮﺑﻘﺎﺕ
“Jauhilah tujuh perkara yang mencelakakan!!”
Beliau ditanya: “Apa tujuh perkara tersebut, wahai Rosululloh?” beliaupun menjawab:
ﺍﻟﺸﺮﻙ ﺑﺎﻟﻠﻪ، ﻭﺍﻟﺴﺤﺮ، ﻭﻗﺘﻞ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﺍﻟﺘﻲ ﺣﺮﻡ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﺤﻖ، ﻭﺃﻛﻞ ﻣﺎﻝ ﺍﻟﻴﺘﻴﻢ ﻭﺃﻛﻞ ﺍﻟﺮﺑﺎ، ﻭﺍﻟﺘﻮﻟﻲ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺰﺣﻒ، ﻭﻗﺬﻑ ﺍﻟﻤﺤﺼﻨﺎﺕ ﺍﻟﻐﺎﻓﻼﺕ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﺎﺕ
“(Tujuh perkara tersebut adalah) Syirik kepada Alloh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, melarikan diri saat berkecamuknya perang, dan menuduh seorang perempuan mukminah yang menjaga dirinya dan tidak bersalah (telah berzina).” [HR. Bukhory: 2766, Muslim: 89]
Apa pula yang diharapkan dari harta yang melimpah jika tidak memberikan ketenangan dan tidak ada keberkahan padanya?!
Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam-
telah bersabda:
ﻣﺎ ﺃﺣﺪ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺑﺎ ﺇﻻ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﻗﺒﺔ ﺃﻣﺮﻩ ﺇﻟﻰ ﻗﻠﺔ
“Tidaklah seseorang memperbanyak (hartanya) dengan riba kecuali akan berakibat kepada kesedikitan.” [HR. Ibnu Majah: 2275 dan dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam kitab “Shohihul Musnad”: 827 ]
Mungkin secara dzohir orang tersebut telah mengumpulkan banyak uang, tapi karena Alloh telah mencabut keberkahan darinya, maka harta yang terlihat melimpah itu tidak memberikan manfaat pada pemiliknya. Bahkan siksaan yang pedih telah menunggu dan akan segera menyambutnya. Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam- telah bersabda:
ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ ﺭﺟﻠﻴﻦ ﺃﺗﻴﺎﻧﻲ، ﻓﺄﺧﺮﺟﺎﻧﻲ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺽ ﻣﻘﺪﺳﺔ، ﻓﺎﻧﻄﻠﻘﻨﺎ ﺣﺘﻰ ﺃﺗﻴﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻧﻬﺮ ﻣﻦ ﺩﻡ ﻓﻴﻪ ﺭﺟﻞ ﻗﺎﺋﻢ ﻭﻋﻠﻰ ﻭﺳﻂ ﺍﻟﻨﻬﺮ ﺭﺟﻞ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻳﻪ ﺣﺠﺎﺭﺓ، ﻓﺄﻗﺒﻞ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻬﺮ، ﻓﺈﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺃﻥ ﻳﺨﺮﺝ ﺭﻣﻰ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺑﺤﺠﺮ ﻓﻲ ﻓﻴﻪ، ﻓﺮﺩﻩ ﺣﻴﺚ ﻛﺎﻥ، ﻓﺠﻌﻞ ﻛﻠﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻟﻴﺨﺮﺝ ﺭﻣﻰ ﻓﻲ ﻓﻴﻪ ﺑﺤﺠﺮ، ﻓﻴﺮﺟﻊ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ، ﻓﻘﻠﺖ ﻣﺎ ﻫﺬﺍ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ﺍﻟﺬﻱ ﺭﺃﻳﺘﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻬﺮ ﺁﻛﻞ ﺍﻟﺮﺑﺎ
“Aku melihat (dalam mimpi) dua orang laki-laki menghampiriku, kemudian membawaku keluar ke tanah suci. Kamipun berjalan hingga sampai pada sungai darah yang di sungai tersebut berdiri seorang laki-laki. Di tengah-tengah sungai ada seorang laki-laki (lainnya) yang kedua tangannya memegang batu. Maka laki-laki yang di sungai itu bergerak. Jika laki-laki ini mau keluar dari sungai, maka laki-laki (yang membawa batu tadi) melemparkan batu itu ke mulutnya dan mengembalikannya ke tempat semula. (Begitu seterusnya), setiap datang ingin keluar, dilempar mulutnya dengan batu sehingga kembali ke tempat semula. Akupun bertanya: “Apa ini?” Dia (Malaikat yang membawa Rosululloh) menjawab: “Yang kamu lihat di sungai itu adalah pemakan harta riba.” [HR. Bukhori: 2085]
Larangan dan ancaman bagi para pelaku riba tidaklah terbatas pada orang yang makan dari hasil riba. Akan tetapi mencakup semua pihak yang melakukan transaksi, baik penjual, pembeli, penulis maupun saksi-saksi.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah –Rodhiyallohu ‘anhu- bahwa dia berkata:
ﻟﻌﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺁﻛﻞ ﺍﻟﺮﺑﺎ، ﻭﻣﺆﻛﻠﻪ، ﻭﻛﺎﺗﺒﻪ، ﻭﺷﺎﻫﺪﻳﻪ
“Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam- telah melaknat orang yang makan harta riba, orang yang memberikan makan (harta riba itu) kepadanya, dan orang yang menulisnya, serta dua orang yang menjadi saksi atasnya.” [HR. Muslim: 1598]
Saudaraku, semoga Alloh memberikan hidayahnya pada kita semua, tidaklah dunia yang fana ini kecuali jalan untuk menuju ke akherat. Akankah seseorang mengorbankan keselamatan di negeri yang kekal itu hanya dengan perhiasan-perhiasan dunia yang hina?!
Ketahuilah bahwa engkau kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas hartamu, darimana kamu dapat dan kemana kau belanjakan. Maka persiapkanlah jawaban sebelum datang hari-hari yang tidak berguna lagi tangis dan penyesalan.
Sungguh kita saat ini ada di zaman yang banyak dari saudara-saudara kita kaum muslimin tidak tahu lagi tentang aturan-aturan agamanya. Keharaman diterjang demi mendapatkan sekelumit kepuasan. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam-
bersabda:
ﻳﺄﺗﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺯﻣﺎﻥ، ﻻ ﻳﺒﺎﻟﻲ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﻣﺎ ﺃﺧﺬ ﻣﻨﻪ، ﺃﻣﻦ ﺍﻟﺤﻼﻝ ﺃﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ
“Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak peduli tentang apa-apa yang dia ambil, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Al-Bukhory: 2053)
Oleh karena itulah, merupakan suatu kewajiban kita bersama untuk mengingatkan satu sama lainnya dari dosa besar yang sudah dianggap biasa ini, saling menasehati untuk kembali mempelajari agama Islam yang merupakan kunci pembuka segala kebaikan.
Solusi dan Jalan Keluar:
Setelah kita ketahui kerasnya hukum syar’i terhadap pelaku riba, terus bagaimana seharusnya seseorang berbuat agar tidak terjatuh padanya??
Di sinilah ketaqwaan seorang muslim diuji. Sebab dengan tersebarnya praktek riba dan praktek jual beli yang menyelisihi syareat, berarti seorang muslim yang ingin selamat wajib untuk berilmu sebelum bertindak serta berhati-hati dalam melangkahkan kaki di ‘ tempat yang penuh duri dan onak ’.
Adapun dalam permasalahan jual beli kredit, maka carilah bentuk kredit yang hanya melibatkan dua pihak saja (pembeli & penjual) dan tidak menyertakan aturan-aturan yang telah kami terangkan di atas. Memang sulit, tapi yakinlah dengan firman Alloh:
ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻪُ ﻣَﺨْﺮَﺟًﺎ * ﻭَﻳَﺮْﺯُﻗْﻪُ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﻳَﺤْﺘَﺴِﺐُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَﻮَﻛَّﻞْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺴْﺒُﻪ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. [QS. Ath-Tholaq: 2-3]
Demikian juga, kepada seluruh pihak yang ingin menjual secara kredit hendaknya bertaqwa kepada Alloh, jauhilah riba dan ikutlah dengan aturan yang telah Alloh dan RosulNya tentukan. Padanya keberkahan dan jalan keselamatan.
Akhir kata, semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua, teriring doa semoga Alloh memberikan hidayah-Nya kepada saudara-saudara kita kaum muslimin untuk kembali kepada agamanya dan tunduk kepada syareat yang telah ditetapkan oleh Alloh Pencipta jagad raya.
ﺳﺒﺤﺎﻧﻚ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻭﺑﺤﻤﺪﻙ، ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺃﻧﺖ ﺃﺳﺘﻐﻔﺮﻙ ﻭﺃﺗﻮﺏ ﺇﻟﻴﻚ