Breaking

Kamis, 14 Maret 2019

3 MASALAH Terkait Perbedaan dalam Penentuan Awal Dzulhijjah


3 masalah Terkait Perbedaan Penentuan Awal Dzulhijjah
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين على أمور الدنيا والدين،
والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، 
أما بعد:
Fenomena yang sering terjadi berhubungan dengan peribadatan kaum muslimin yang berhubungan dengan bulan hijriyyah adalah perbedaan dalam penentuan awal bulan, baik itu Romadhon, Dzulhijjah maupun bulan-bulan yang lainnya. 
Sehingga banyak timbul pertanyaan berkaitan dengan bagaimana sebaiknya seorang muslim mengambil sikap dan pendapat mana yang hendaknya dia pegang erat serta bagaimana bimbingan para ulama dalam permasalahan tersebut???
Oleh karena itu, pada artikel kali ini insya Alloh akan kami jelaskan secara ringkas jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, terutama yang berkaitan dengan bulan Dzulhijjah, karena bulan inilah yang sekarang kita berada di dalamnya.
Walaupun demikian, apabila seseorang memahami perkara ini dengan baik, penjelasan-penjelasan yang akan datang ini –insyaAlloh- bisa bermanfaat dalam menyikapi perbedaan penentuan awal bulan hijriyah secara umum serta ibadah-ibadah yang berkaitan dengannya. 
Semoga Alloh memberikan taufiq dan pertolongan Nya….
Ketahuilah, saudaraku fillah, waffaqokumulloh, bahwa dalam hal ini ada tiga rantai permasalahan utama yang hendaknya diketahui:
  1. Permasalahan yang berhubungan dengan perselisihan dalam menentukan awal bulan Dzulhijjah.
  2. Permasalahan dalam menentukan kapan harus berpuasa ‘Arafah?
  3. Permasalahan dalam menentukan kapan sebaiknya menunaikan sholat ‘id?
Walaupun pada hakekatnya, ketiga masalah ini berporos pada masalah pertama, tetapi kami perinci dalam masalah tersendiri agar lebih mudah dipahami dan agar semakin jelas pendapat mana yang terkuat.
  • PERMASALAHAN PERTAMA:
Permasalahan yang berhubungan dengan perselisihan dalam menentukan awal bulan Dzulhijjah.
Merupakan perkara yang jelas bagi ahlussunnah bahwa patokan dalam penentuan awal bulan Hijriyyah adalah Ru’yatul hilal (terlihatnya bulan sabit baru). Hal ini sebagaimana yang telah Rosululloh ﷺ  sabdakan dalam banyak hadits, beliau mengaitkan kewajiban puasa dengan
ru’yah, di antaranya hadits ibnu Umar Rodhiyllohu ‘anhuma:
«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ» 
وفي رواية: «لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْه»
“Berpuasalah kalian apabila melihatnya (hilal Romadhon) dan berbukalah dari puasa apabila kalian melihatnya (hilal Syawwal). Dan apabila kalian terhalangi oleh awan maka genapkanlah bilangan bulan (menjadi 30 hari –pen).” Dan dalam riwayat yang lain: “Janganlah kalian berpuasa kecuali apabila kalian melihat hilal dan jangan berhenti berpuasa sampai kalian melihatnya.” (HR Bukhori:1909 dan Muslim:1081)
Hadits yang semakna juga datang dari Abu Huroiroh yang diriwayatkan oleh Bukhori (1900) dan Muslim (1080).
Oleh karena itu para ulama baik yang dulu maupun sekarang, telah menjelaskan kepada umat, bahwa meninggalkan ru’yah dan beralih kepada ilmu hisab dalam penentuan bulan hijriyyah merupakan kebid’ahan dalam Islam.
Imam Shiddiq Hasan Khon –rohimahulloh–  berkata: “Penentuan waktu, baik hari ataupun bulan dengan perhitungan hisab terhadap tempat-tempat beredarnya bulan hukumnya adalah bid’ah menurut kesepakatan ummat.” [Roudhotun Nadiyyah: 1/224]
Demikian pula Al-Lajnah Ad-Daimah (Majelis Fatwa Saudi) ketika ditanya tentang masalah ini menjawab:
فالرجوع في إثبات الشهور القمرية إلى علم النجوم في بدء العبادات والخروج منها دون الرؤيةمن البدع التي لا خير فيها، ولا مستند لها من الشريعة،
“Merujuk kepada ilmu perbintangan dalam menetapkan bulan-bulan qomariyah untuk menentukan awal dan akhir suatu ibadah tanpa mempergunakan ru’yah adalah suatu bid’ah yang tidak ada kebaikan padanya dan tidak ada dasarnya dalam syariat.” [Fatwa: 386]
Setelah jelas bagi kita perkara ini, hal selanjutnya yang hendaknya kita ketahui, bahwa dalam pengamalan sistem ru’yah, terkadang di suatu negeri terlihat dan di negeri lain tidak terlihat. Sebagaimana yang terjadi pada Dzulhijjah tahun ini (2014); di Saudi Arabia telah terlihat, tetapi di Indonesia belum.
Bagaimanakah sikap yang benar dalam menghadapi fenomena seperti ini? 
Kasus yang sedang kita bahas ini, disebutkan oleh para ulama dalam permasalahan: 
“Apakah jika kaum muslimin di suatu negeri telah melihat hilal, mengharuskan seluruh kaum muslimin negeri-negeri yang lain di penjuru dunia beramal dengan ru’yah tersebut?
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh menyebutkan bahwa dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat sampai delapan madzhab. Namun secara garis besar ada tiga pendapat yang masyhur dan kuat:
  • Pendapat pertama: Wajib bagi kaum muslimin untuk beramal dengan ru’yah tersebut
  • Pendapat kedua: Wajib memakai ru’yah jika mathla’nya sama. Yang mereka inginkan dengan mathla’ adalah tempat terbitnya bulan, sehingga dalam waktu yang sama atau berdekatan mereka dapat melihat hilal. Negeri-negeri yang  berdekatan dalam waktu terbitnya bulan dikatakan satu mathla’. 
  • Pendapat ketiga: Keputusannya kembali ke Imam kaum muslimin. 
Sebab terjadinya silang pendapat ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan pensyaratan ru’yah pada penetapan awal bulan, seperti hadits dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, dimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّي عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَد
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal Romadhon/ bulan baru) dan berbukalah (selesai menunaikan puasa romadhon) kalian karena melihatnya (hilal Syawal). Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka genapkanlah tiga puluh hari” (HR Bukhory-Muslim)
Juga hadits dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْفَاقْدُرُوا لَه
“Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (‘iedul fithr) sampai kalian melihat hilal. Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka tetapkanlah (tiga puluh hari)” (HR Bukhory-Muslim)
Dan dalil-dalil lainnya serta penjelasan seputarnya telah dibahas oleh Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Minangkabawy  -Hafidzohulloh- dalam artikel beliau:  MEMASUKI BULAN YANG PENUH BERKAH TANPA MASALAH,  sehingga tidak perlu kita mengupasnya panjang lebar di sini, yang kesimpulannya kembali kepada pekataan Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh
“Masalah ini tidak khusus bagi penduduk salah satu penjuru dengan hukum tersendiri, melainkan yang diajak bicara (dalam hadits ini –pent) adalah seluruh kaum muslimin yang berhak (puasa). Pendalilan dengan hadits ini atas pengharusan penggunaan ru’yah suatu negeri atas negeri yang lain, lebih jelas ketimbang pendalilan atas tidak adanya keharusan. Sebab, apabila penduduk suatu negeri telah melihat, artinya kaum muslimin telah melihat, maka mengharuskan yang lain apa-apa yang diharuskan bagi  yang melihat” [Nailul Author 4/194]
Jadi yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah kaum muslimin secara umum. Dimana saja ada sebagian kaum muslimin yang melihat hilal, maka berarti kaum muslimin lainnya dihukumi telah melihatnya dan wajib beramal dengan konsekuensi ru’yah tersebut.
Adapun pendapat yang mempersyaratkan persamaan mathla’ maka hal ini bukanlah suatu patokan yang jelas. Sebab, Mathla’ adalah perkara yang nisbi yang tidak memiliki batasan tertentu sehingga manusia bisa memeriksanya. [Tamamul Minnah – karya Syaikh Al-Albany Rahimahulloh]
Oleh karena itulah para ulama yang berpendapat dipersyaratkannya kesamaan mathla’ berselisih dalam menentukan batasannya. Ada yang menjadikan perbedaan kawasan (yang sama sifat geografisnya) sebagai faktor pembeda, sebagian ada yang menjadikan acuan adalah perbedaan waktu, sebagian juga ada yang berpendapat dengan memakai standar jarak yang dikatakan sebagai safar (dan tentang standar inipun mereka berbeda pendapat).
Hal ini semakin menunjukkan lemahnya pendapat kedua, karena memang tidak didapatkan adanya dalil dalam masalah ini. 
Selain itu, bagaimana bisa suatu jamaah kaum muslimin yang ada di perbatasan antara dua daerah yang berbeda mathla’-nya (menurut mereka), sebagian diharuskan menerima hasil ru’yah dan sebagian lainnya tidak. Sampai-sampai Syaikhul Islam menyatakan bahwa yang demikian ini bukanlah agama kaum muslimin.” [Majmu’ul Fatwa 25/105]
Selain itu, persyaratan persamaan mathla’ telah menyelisihi kaidah umum tentang penggunaan berita dari seseorang yang terpercaya (khobar tsiqoh) yang berlaku dalam setiap perkara syari’at.
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh mengatakan: “Tidak ada keraguan bagi seorang alim, bahwasanya dalil-dalil yang ada memutuskan bahwa penduduk dari berbagai penjuru, sebagian mereka beramal dengan berita dan persaksian sebagian yang lain di seluruh hukum-hukum syari’at, sementara masalah ru’yah termasuk ke dalam perkara syari’at, baik itu antara dua negeri yang berjauhan yang memungkinkan terjadinya perbedaan mathla’, ataupun tidak. Pengkhususan tidak diterima kecuali dengan dalil” [Nailul Author 4/231]
Oleh karena itulah, jelas bagi kita kuatnya pendapat yang menyatakan bahwa apabila telah tetap ru’yah di suatu negeri maka wajib bagi negeri-negeri lainnya untuk mengikutinya. Inilah pendapat yang dipilih oleh:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa beliau, Imam Asy-Syaukany, Ibnu Baz dan Al-Albany Rahimahumullohu Ta’ala, yang kemudian dirajihkan oleh syaikhuna Muhammad bin hizam -Hafidzohulloh- [lihat: Fathul ‘Allam dan Ittihaful Anam pada permasalahan ru’yah]
Terlebih lagi apabila negeri yang melihat hilal itu berada di sebelah barat negeri yang tidak melihatnya. Syaikhul Islam Rahimahulloh berkata:
“Berbedanya Ru’yah hilal tergantung dari berbedanya posisi, di barat atau timur. Apabila hilal telah terlihat di timur maka pasti yang di barat akan melihatnya, namun tidak sebaliknya. 
Sebab, tenggelamnya matahari di (belahan bumi) bagian barat lebih telat daripada di bagian timur. Sehingga apabila hilal (di bagian timur) telah terlihat, maka di bagian barat cahaya hilal akan semakin bertambah, demikian juga jaraknya akan semakin bertambah dari matahari dan dari sinarnya di kala tenggelamnya matahari. Dengan demikian hilal akan lebih bisa lagi untuk dilihat.
Tidak demikian halnya jika bulan terlihat di bagian barat (sementara orang timur tidak melihatnya –pent), karena bisa saja sebab terlihatnya hilal di barat karena tenggelamnya matahari di tempat mereka lebih belakangan, sehingga jarak (hilal dari matahari semakin jauh) dan cahaya hilal pun bertambah.
Sementara ketika matahari tenggelam di timur, hilal masih dekat dengan matahari (sehingga cahaya kalah dan tidak bisa dilihat –pent). Tambah lagi ketika hilal terlihat di barat, ia telah tenggelam di timur, ini adalah (kenyataan) yang bisa ditangkap panca indra dalam masalah tenggelamnya matahari, hilal dan seluruh bintang. 
Karena itu, jika masuk waktu maghrib di barat otomatis di timur juga telah masuk, namun tidak sebaliknya. Demikian juga jika telah terbit matahari di barat otomatis di timur juga telah terbit, namun tidak sebaliknya. Terbitnya dan tenggelamnya (matahari) dan bintang-bintang di bagian timur lebih dahulu. Adapun hilal, dia muncul dan terlihat di bagian barat terlebih dahulu, karena dia terbit di bagian barat. Dan tidak ada di langit yang terbit di bagian barat selainnya.
Sebab terlihatnya hilal adalah jauhnya hilal tersebut dari matahari. Semakin telat matahari tenggelam maka (artinya) semakin jauh hilal darinya (sehingga hilal yang terlihatpun semaikin jelas -ed)” [Majmu’ul Fatawa 25/ 104]
Dari penjelasan ini, jika kita terapkan pada masalah penentuan awal bulan Dzulhijjah, maka yang benar –wallohu a’lam- adalah mengikuti negeri yang melihat hilal terlebih dahulu, dalam kasus kita ini adalah pemerintah Saudi. 
Tentunya merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima, ketika suatu negeri yang di sebelah barat sudah masuk tanggal satu Dzulhijjah, tetapi negeri yang di sebelah timur masih Dzulqo’dah. Sebagaimana tidak akan diterima jika negeri sebelah barat sudah hari jum’at, tetapi negeri timurnya masih kamis.
Adapun pendapat ketiga yang menyerahkan perkaranya kepada pemimpin kaum muslimin, maka sesungguhnya sisi pandang pendapat ini tidak ada hubungannya dengan pokok perselisihan. Sebab pendapat ini bisa saja mencocoki pendapat yang pertama ataupun yang kedua, yang secara garis besar bisa kita lihat dalam dua kondisi.
Kondisi pertama, yaitu apabila kawasan Islam berada dalam satu kepemimpinan, tentunya pendapat ini akan menjurus ke pendapat yang pertama, karena semua kaum muslimin berpuasa dengan satu ru’yah yaitu yang ditetapkan pemimpin.
Kondisi kedua, dan kondisi inilah yang banyak dipraktekkan namun dalam skala yang lebih kecil yaitu negara. Hal ini dikarenakan kondisi kaum muslimin yang terpisah dalam bentuk negara-negara yang berdiri sendiri.
Pada hakikatnya kondisi ini bakal kembali kepada kedua pendapat yang telah disebutkan, dalam artian: yang berpendapat dengan pendapat ketiga, mereka mengikuti mazhab yang ditetapkan pemimpin. Baik pemimpin tersebut berpendapat dengan pendapat pertama atau berpendapat dengan pendapat kedua. 
Namun secara umum, pendapat ini mengisyaratkan penyelisihan terhadap pendapat yang pertama karena adanya kemungkinan bagi pemimpin setiap negara untuk menetapkan kapan awal bulan-bulan Qomariyyah, menunjukkan tidak adanya keharusan untuk saling mengikuti satu sama lain. Adapun sisi perbedaannya dengan pendapat kedua adalah bahwa pendapat ketiga menjadikan batas teritorial sebagai acuan perbedaan waktu.
Dengan kondisi ini bisa saja seorang Indonesia yang tinggal di kampung perbatasan menunaikan puasa ‘Arafah, sementara saudaranya seorang Malaysia yang tinggal di kampung sebelah dah berhari raya Qurban. Tentunya yang demikian ini sangat jauh dari kaidah-kaidah syareat Islam. [lihat: MEMASUKI BULAN YANG PENUH BERKAH TANPA MASALAH] 
Dan penting untuk ditekankan di sini, bahwa ketika seseorang mengambil pendapat pertama dan menyelisihi pemerintah, bukan berarti mereka keluar dari manhaj ahlussunnah karena tidak taat pada pemerintah. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa ketaatan kepada pemerintah terbatas pada perkara-perkara yang sesuai dengan ketentuan Alloh dan Rosul Nya. Apabila seseorang telah yakin tentang masuknya bulan Dzulhijjah berdasarkan ru’yah, bagaimana mungkin harus meninggalkannya dengan alasan taat pemerintah? 
  • PERMASALAHAN KEDUA:
Permasalahan dalam menentukan kapan harus berpuasa ‘Arafah?
Setelah kita mengetahui pembahasan di atas tentunya pada kasus kita saat ini sangat jelas sekali jawabannya & tidak ada problem.
Namun bagi orang yang berpendapat adanya perbedaan mathla’ atau mengikuti pemerintah secara mutlak merupakan permasalahan yang lumayan membingungkan. Pasalnya puasa ‘Arafah berbeda dengan puasa Romadhon. Sebab, puasa ‘Arafah sangat erat hubungannya dengan negeri Haramain. Tidak ada hari ‘Arafah kecuali hari ketika jamaah haji wuquf di padang ‘Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. 
Oleh karena itu, ketika pemerintah saudi telah menentukan jatuhnya hari tersebut maka wajib bagi negeri-negeri lain untuk mengikutinya.
Sehingga bagi seorang  yang jeli, sebenarnya permasalahan ini juga menunjukkan akan kuatnya pendapat pertama yang telah dijelaskan di atas.
Al-Lajnah Ad-Daaimah ketika ditanya:
“Apakah kami boleh berpuasa dua hari di sini (negeri kami) selama dua hari, dalam rangka untuk puasa ‘Arafah? karena kami mendengar di radio bahwa besok adalah hari ‘Arafah (di Saudi) bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di sini”.
Mereka menjawab :
يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج،فإذا أردت أن تصوم فإنك تصوم هذا اليوم، وإن صمت يوما قبله فلا بأس، وإن صمت الأيامالتسعة من أول ذي الحجة فحسن؛ لأنها أيام شريفة يستحب صومها؛ لقول النبي صلىالله عليه وسلم:
«ما من أيام العمل الصالح فيهن خير وأحب إلى الله من هذه الأيام العشر، قيل: يا رسولالله ولا الجهاد في سبيل الله؟
قال: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل  خرج بنفسه وماله، ثم لم يرجع من ذلك بشيء»رواه البخاري.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melakukan wuquf pada hari tersebut di ‘Arafah. Dan puasa di hari tersebut disyari’atkan bagi selain orang yang menunaikan ibadah haji. Apabila engkau ingin berpuasa (‘Arafah), maka berpuasalah pada hari tersebut.
Jika engkau ingin berpuasa sehari sebelumnya, maka tidak mengapa. Dan jika engkau ingin sembilan hari dari awal bulan Dzulhijjah, maka itu baik, karena hari-hari itu merupakan hari-hari mulia yang dianjurkan untuk berpuasa berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : 
‘Tidak ada hari yang amal shalih dilakukan padanya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari sepuluh ini (di bulan Dzulhijjah)’. 
Dikatakan : ‘Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah ?’.
Beliau menjawab : ‘Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan diri dan hartanya, kemudian tidak kembali sesuatupun darinya (yaitu, orang tersebut mati syahid)’. Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy.
Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
[Fatwa Lajnah Daaimah 10/393 no 4052, dengan ketua: Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Baaz]
Lihat bagaimana Al-Lajnah menjawab bahwa Hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melakukan wuquf pada hari tersebut di ‘Arafah. Berarti hari yang tidak memenuhi kriteria ini bukanlah hari ‘Arafah. Mereka juga menjelaskan bahwa apabila seseorang mau berpuasa selain puasa ‘Arafah, maka bisa perpuasa pada hari-hari sebelumnya. Adapun hari sesudahnya, walaupun di negeri penanya ditetapkan sebagai hari ‘Arafah, dipahami dari jawaban di atas tidaklah diperbolehkan, sebab hari tersebut secara hakekat adalah Hari ‘Idul Adha yang kaum muslimin dilarang berpuasa padanya. 
Oleh karena itu, bagi saudara-saudaraku di Indonesia yang hendak puasa ‘Arafah pada tahun ini hendaknya berpuasa pada hari Jum’at. Telah berfatwa yang demikian ini Syaikhuna ‘Abdulhamid Al-Hajury Waffaqohulloh.
  • PERMASALAHAN KETIGA:
Permasalahan dalam menentukan kapan sebaiknya menunaikan sholat ‘id?
Permasalahan ini juga merupakan cabang dari permasalahan pertama. Sehingga kalau permasalahan pertama dipahami, maka masalah ini pasti sudah diketahui jawabannya.
Namun, dikarenakan pelaksanaan sholat ‘id mencakup orang banyak dan merupakan syi’ar Islam yang dhohir, maka hendaknya seseorang melihat mashlahah dan mafsadah nya (kebaikan & keburukannya) berkaitan dengan pemerintah serta kaum muslimin di negeri tersebut.
Apabila penegakan ‘id pada hari yang menyelisihi pemerintah dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, maka hendaknya dia mengakhirkannya bersama pemerintah. Hal ini sebagaimana difatwakan oleh Syaikhuna Muhammad Hizam -Hafdzohulloh- dalam salah satu pelajaran beliau.
Akan tetapi jika penyelisihan tersebut merupakan perkara yang tidak dipermasalahkan oleh pemerintah dan tidak ada dampak buruk yang mungkin timbul, maka pendapat terpilih dalam kasus kita saat ini adalah melaksanakannya sesuai dengan ru’yatul hilal yang ditetapkan Saudi, yaitu hari Sabtu. Wallohu a’lam. 
Dan sebelum pembahasan ini ditutup, hendaknya kita ingat kembali bahwa ketiga masalah ini adalah permasalahan yang memang para ulama telah berselisih pendapat padanya. Tentunya seorang muslim dalam memilih pendapat mana yang terkuat dituntut untuk menentukannya berdasarkan ilmu yang ada padanya, sebagai bentuk usaha mendekatkan diri kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, dan menjauhi sifat serampangan dalam bertindak yang berakibat timbulnya fitnah dan perpecahan.
Semoga Alloh memberikan taufiq kepada kita semua.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
Purworejo, 8 Dzulhijjah 1435
Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawiy

Halaman